9.11.09

Nurtured by nature.. or tortured?

What’s your top three drugs of choice? Demikian pertanyaan saya kepada seorang teman yang bekerja sebagai fotografer di sebuah majalah lokal. Tiga kata yang terlontar darinya adalah marijuana, anti-depressants, dan cocaine. Pertanyaan yang semula bertujuan untuk sekedar iseng – iseng belaka, ternyata ditanggapi dengan serius dan membutuhkan waktu sekitar 180 detik untuk menjawabnya. Ketika ditanya lebih lanjut kenapa membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab pertanyaan yang notabene konteksnya tidak jauh dari kehidupan sehari-harinya, ‘responden’ tersebut menjawab, “Abisnya top three sih, kalo disuruh milih satu sih gampang, udah pasti ganja.”

Marijuana yang memulai invasinya di tahun 1970-an itu sempat menjadi favorit utama bagi generasi orangtua kita. Magic grass yang konon disebut-sebut sebagai drug of choice-nya John Lennon, Bob Marley, dan sederet musisi lain yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga itu dipopulerkan oleh flower generation (hippies) yang berkeliling Amerika untuk menyebarluaskan propaganda world peace-nya di tahun 1970-an. Sampai kini, meskipun world peace itu sendiri masih hanya angan-angan semata dan realisasinya sama susahnya dengan Pancasila, namun para hippie tersebut sukses membuat marijuana menjadi the number one drugs of all.

Dari era kejayaan cocaine di kalangan supermodel jaman Studio 54, LSD yang dipopulerkan Albert Hoffman, sampai anti-depressants yang ditemukan di kantong celana Winona Ryder sewaktu tertangkap shop lifting di Saks Fifth Avenue beberapa tahun lalu, semuanya mengindikasikan bahwa evolusi drugs semakin luas ragamnya. Jimi Hendrix terang-terangan mengatakan bahwa ia menyelipkan LSD di balik ikat kepalanya ketika konser. Nicole Richie yang sekarang dijadikan acuan gaya berpakaian kebanyakan anak muda yang rajin absen di mall-mall juga mengakui bahwa ia mengkonsumsi xanax dan valium, yang termasuk anti-depressant jenis alprazolam dan diazepam. Tapi tetap saja fashion icon yang gaya berpakaiannya berubah 180 derajat setelah mengimplemetasikan tutorial dari seorang fashion stylist yang ternama itu tertangkap basah mengkonsumsi marijuana oleh paparazzi di sebuah night club di Los Angeles.

Apa hebatnya tumbuhan satu ini, yang legal di Belanda dan ilegal di Indonesia? Pihak yang kontra terhadap marijuana mengatakan bahwa “Ganja itu bikin ribet! Gue nggak bisa mikir kalo lagi giting, pasti pikirannya kemana-mana.” Tapi ketika ditanya apa drugs pilihannya, ia menjawab marijuana. Berarti ia pro marijuana yang kontra. Atau kontra marijuana yang pro? Bukan terminologinya atau oposisi dari pernyataannya yang menjadi masalah disini, tapi fenomena marijuana itu sendiri yang tidak ada matinya. Kalau kata para dokter St. Mary Hospital di London bahwa marijuana memperlambat daya pikir otak dan mengurangi kapasitas memori manusia, maka ‘pembelaan’ orang yang pro marijuana adalah ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan aktivitas sehari-harinya jika tidak diimbangi dengan penggunaan marijuana.

Otak kiri manusia diidentikkan dengan pemikiran rasional, sedangkan otak kanan identik dengan segi estetika dan emosional. Seorang pelukis mengatakan bahwa inspirasinya untuk melukis didapat ketika mengkonsumsi ganja. Namun ketika ditanya sejak kapan ia mulai mengkonsumsinya, ia membutuhkan waktu yang lama untuk menjawabnya. Lebih lama dari anak lima tahun yang diminta untuk menjelaskan definisi nasionalisme. Kalau ini berarti otak kanannya lebih signifikan dari otak kirinya, maka kesimpulannya adalah otak kirinya sudah terkontaminasi marijuana. Apakah ini kerugian buat si pelukis? Kalau ia hidup dari lukisannya, berarti ia tidak dirugikan. Lain ceritanya kalau ia bekerja sebagai accounting di sebuah perusahaan information technology, jelas ia dirugikan. Kalkulasi cash flow perusahaan bisa jadi berantakan karena keterbatasan memorinya. Rugi atau tidaknya tergantung dari sisi mana marijuana tersebut dihakimi.

Mulai dari satpam perumahan yang bisa disogok dengan selinting ganja untuk membukakan portal pada jam 5 pagi, seorang disc jockey yang mengakui bahwa setelah selesai perform di club terbiasa ‘nyimeng’, sampai artis muda ibukota yang mengatakan bahwa ia seringkali merasa tidak percaya diri untuk di-shoot sebelum mengkonsumsi marijuana; hampir semua orang dari segala strata sosial tidak terlepas dari pengaruh marijuana. Seorang graphic designer di Singapura mengatakan bahwa top drug of choice-nya adalah marijuana, selain ecstasy dan crystal. Padahal ia menyadari fakta bahwa di negara tempat ia menetap diberlakukan death penalty untuk marijuana user atau seller.

Ditinjau dari kacamata agama, marijuana itu dosa. Namun orang-orang beragama ternyata banyak juga yang tidak lepas dari ganja. Bagi orang-orang seni, kreativitas mereka datang dari marijuana. Dan negara kita butuh kreativitas rakyatnya untuk meningkatkan devisa negara, seperti Jepang yang penghasilannya dari komik manga empat kali lipat dari hasil export bajanya. Siapa tahu Aceh yang konon adalah produsen ganja terbesar di seluruh Indonesia bisa memberikan kontribusinya untuk meningkatkan devisa.

Jadi, nurtured by nature.. or tortured by nature?

7 comments:

niken nugroho said...

hmmmphhh.

Anonymous said...

sarcastic chick. I like.

Anonymous said...

genius.
you have captured exhaustively and eloquently all the random thoughts that desperately needed these links in my brain.

the structure, the logic, the subservient suggestions, even the level of rhetoric is mixed perfectly.

you are a brilliant writer.

Anonymous said...

this is intellectual and unpretentious writing.

Anonymous said...

crazynutsnad in action with her dancing fingers.

-achachichu

Unknown said...

utter brilliance.


next time let's talk while we're sober. or more like, while i'm sober. without the smoke machines and the skulls and the 34 cans of beer.

you're bad with names, do you remember who i am?

steve barnabas said...

dulu bagi saya ganja adalah perdamaian... ya, dan ternyata perdamaian yg instant



why do people with closed minds open their mouth?

About Me

problematic in associating names with faces.