Sensible Cubicle

28.3.10

Surat Cinta (yang dahulu, sekarang dan selama-lamanya Amin)

Dahulu, aku kira aku pintar. Juara satu di sekolah, punya banyak teman, dan juga liar. Tujuh dosa yang mematikan, kujalani tanpa sesal. Sama seperti babi hutan, yang tak bermoral. Kujalani hidup dengan akal budi, Berdiri sendiri dan membangun kekuatan pribadi. Sampai kemudian terpatri di hati, Bahwa aku harus lebih berhati-hati. Barulah kemudian aku berjumpa Dia, Yang sejak itu selalu setia. Aku diajar namun juga dihajar, Disayang, dicinta dan ditampar. Sekarang, aku punya Tuhan. Kerajaan kedagingan dan hal-hal duniawi, Buat aku sangat bertentangan dengan prinsip surgawi. Kuganti semua itu dengan damai di lubuk hati, Tidak lagi takut akan bencana atau mati. Saudara-saudaraku kini tersebar di seluruh bumi, Orang Cina, Afrika atau Betawi, banyak sekali seperti jerami. Tiap hari aku bangun pagi, sebelum langit membiru, Memuji Dia dan meninggikan Dia, dengan nyanyian yang baru. Kutanggapi masalah tanpa mengerutkan dahi, Kutahu pasti Dia menengahi. Itu sebabnya aku tahu sekarang aku jauh lebih pintar, Karena dari Raja sendiri aku diajar. Selama-lamanya, aku tahu pasti aku selamat. Karena itu janjiNya, itu keinginan hatiNya. Ini bukan hanya perasaan saja, Namun sesuatu yang pasti dan sekokoh baja. Kemanapun aku melangkah, Dia menemani. Tiap kali ku butuh pertolongan, Dia ada di sisi. Saudaraku seiman, tiada yang lebih pasti dari pada Yesus. Biarpun dunia hancur lebur, Dia menganggap kita khusus. Tenang, saudaraku, kita tidak sendiri. Karena di sampingmu, dan di sampingku, Dia berdiri. (Muar, Malaysia, 26 November 2009)

9.11.09

Dua Tuan dan Satu Anjing

(Tulisan ini dibuat 11 bulan yang lalu, ketika saya masih bergantung sepenuhnya kepada manusia, bukannya Sang Pencipta)
Teman baikku masuk ke dalam kamar. Langkahnya terdengar di atas lantai kayu, menyeberangi kamar, duduk di sampingku. Pasti ia merasakan bebanku sampai ia berinisiatif mendatangi aku. "Teman, tahukah kau susahnya membagi hati ini untuk dua orang? Tuan yang satu itu, tega sekali sama aku. Aku bisa ditinggal begitu saja untuk perempuan lain, tenggelam dalam dilema dan butiran air mata. Dibiarkannya aku melompat-lompat mencari perhatian dia, mengemis cinta dan cium. Padahal aku tulus datang dengan cinta, tapi cinta itu dilepeh baik-baik olehnya. Ah, walaupun begitu pun aku masih tetap memungutnya. Sedangkan Tuan yang satunya lagi, bikin aku mabuk kepayang. Ia berlutut di depanku, bahkan betah di antara kedua tanganku. Ia menemani aku sampai fajar tiba, dan masjid-masjid mulai berisik. Diberikannya padaku isi pikirannya dan hatinya. Aku jadi merasa disayang, diinginkan, dibutuhkan. Kata-katanya membuat aku pusing, sentuhannya membuat aku merinding. Susah memang, membagi hati untuk dua orang. Apalagi jika dua orang itu sebenarnya satu. Mungkin harus kutunggu sampa keduanya melebur jadi satu, baru kutangkap pakai jala biar tidak lari kemana-mana seperti anjing. Namun kalau ia hendak lari, pasti kurobek sendiri jala itu dengan gunting dalam tasku. Begitu besar kasihku padanya sampai aku rela membiarkan dia pergi." Lho, mau kemana kamu? Teman baikku baru saja keluar kamar tanpa bersuara. Oh, ternyata dia mau makan. Pembantuku sudah menyiapkan makan untuknya. Begitu dia mendengar piringnya dipukul dengan sendok, lupa dia akan ceritaku. Dasar anjing.

Lonte-Lonte

(Tulisan ini dibuat 11 bulan yang lalu, sewaktu amarah mengambil alih logika, dan caci maki dibuat puisi. Selamat menikmati.)
Muak aku melihat perempuan-perempuan itu. Kulit kecokelatan hasil berjemur berjam-jam, rambut panjang hasil sambung-menyambung bernilai jutaan yang diambil dari kepala perempuan lain yang sudah tidak bernafas, lensa kontak berwarna-warni , bisa jadi mereka malu karena warna matanya tidak sama dengan perempuan Uzbekistan di meja sebelah yang bayarannya cuma satu juta lebih sedikit untuk tiga jam di atas tempat tidur. Belum lagi badan digambar di tempat-tempat yang mengundang birahi, cara berbicara dan berperilaku seperti anak kampung dari Bojongkenyot yang tidak punya uang untuk sekolah dan tidak pernah belajar sopan santun, dan modus operandi di diskotik dengan mendekati laki-laki berkulit putih dan berhidung mancung untuk mendapatkan segelas vodka gratis. Aku pakai lensa kontak agar dapat melihat lebih jelas. Untuk mendeteksi perempuan-perempuan seperti mereka, dan memberitahukan kepada laki-laki atau perempuan di dekapanku agar tidak terbuai dengan binatang-binatang binal itu. Aku tidak sudi menerima minuman gratis dari laki-laki manapun, kalau dia sudah berani merengkuh pinggulku setelah enam puluh detik berkenalan. Mungkin aku tidak pernah ambil sekolah kepribadian, tapi aku tidak pernah melepaskan seantero penghuni kebun binatang dari bibirku. Hati-hati ya Sayang?

Long Live Capitalism

once upon a time in an ordinary gloomy day like in all those
creepy children books.. a creature was born into this world by a laser beam from the CIA. like many other creatures, this one also learn about capitalism, commercialism, and Mr. Money. quite soon enough, it developed a certain feelings for money called Love. like many other Money groupies, this creature is driven by money. all it can think about is Capital with a big C. then it's Love swallowed all of it's Money. like most lovers did in this epidemic capitalism world. swallowed it all like a wind that wipes away all of it's dreams with it's money in the so-called-promising-future. don't be. we're all humans inside. (photography: danur setsumar & nadia rachel. digital imaging: nadia rachel)

Nurtured by nature.. or tortured?

What’s your top three drugs of choice? Demikian pertanyaan saya kepada seorang teman yang bekerja sebagai fotografer di sebuah majalah lokal. Tiga kata yang terlontar darinya adalah marijuana, anti-depressants, dan cocaine. Pertanyaan yang semula bertujuan untuk sekedar iseng – iseng belaka, ternyata ditanggapi dengan serius dan membutuhkan waktu sekitar 180 detik untuk menjawabnya. Ketika ditanya lebih lanjut kenapa membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab pertanyaan yang notabene konteksnya tidak jauh dari kehidupan sehari-harinya, ‘responden’ tersebut menjawab, “Abisnya top three sih, kalo disuruh milih satu sih gampang, udah pasti ganja.”

Marijuana yang memulai invasinya di tahun 1970-an itu sempat menjadi favorit utama bagi generasi orangtua kita. Magic grass yang konon disebut-sebut sebagai drug of choice-nya John Lennon, Bob Marley, dan sederet musisi lain yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga itu dipopulerkan oleh flower generation (hippies) yang berkeliling Amerika untuk menyebarluaskan propaganda world peace-nya di tahun 1970-an. Sampai kini, meskipun world peace itu sendiri masih hanya angan-angan semata dan realisasinya sama susahnya dengan Pancasila, namun para hippie tersebut sukses membuat marijuana menjadi the number one drugs of all.

Dari era kejayaan cocaine di kalangan supermodel jaman Studio 54, LSD yang dipopulerkan Albert Hoffman, sampai anti-depressants yang ditemukan di kantong celana Winona Ryder sewaktu tertangkap shop lifting di Saks Fifth Avenue beberapa tahun lalu, semuanya mengindikasikan bahwa evolusi drugs semakin luas ragamnya. Jimi Hendrix terang-terangan mengatakan bahwa ia menyelipkan LSD di balik ikat kepalanya ketika konser. Nicole Richie yang sekarang dijadikan acuan gaya berpakaian kebanyakan anak muda yang rajin absen di mall-mall juga mengakui bahwa ia mengkonsumsi xanax dan valium, yang termasuk anti-depressant jenis alprazolam dan diazepam. Tapi tetap saja fashion icon yang gaya berpakaiannya berubah 180 derajat setelah mengimplemetasikan tutorial dari seorang fashion stylist yang ternama itu tertangkap basah mengkonsumsi marijuana oleh paparazzi di sebuah night club di Los Angeles.

Apa hebatnya tumbuhan satu ini, yang legal di Belanda dan ilegal di Indonesia? Pihak yang kontra terhadap marijuana mengatakan bahwa “Ganja itu bikin ribet! Gue nggak bisa mikir kalo lagi giting, pasti pikirannya kemana-mana.” Tapi ketika ditanya apa drugs pilihannya, ia menjawab marijuana. Berarti ia pro marijuana yang kontra. Atau kontra marijuana yang pro? Bukan terminologinya atau oposisi dari pernyataannya yang menjadi masalah disini, tapi fenomena marijuana itu sendiri yang tidak ada matinya. Kalau kata para dokter St. Mary Hospital di London bahwa marijuana memperlambat daya pikir otak dan mengurangi kapasitas memori manusia, maka ‘pembelaan’ orang yang pro marijuana adalah ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan aktivitas sehari-harinya jika tidak diimbangi dengan penggunaan marijuana.

Otak kiri manusia diidentikkan dengan pemikiran rasional, sedangkan otak kanan identik dengan segi estetika dan emosional. Seorang pelukis mengatakan bahwa inspirasinya untuk melukis didapat ketika mengkonsumsi ganja. Namun ketika ditanya sejak kapan ia mulai mengkonsumsinya, ia membutuhkan waktu yang lama untuk menjawabnya. Lebih lama dari anak lima tahun yang diminta untuk menjelaskan definisi nasionalisme. Kalau ini berarti otak kanannya lebih signifikan dari otak kirinya, maka kesimpulannya adalah otak kirinya sudah terkontaminasi marijuana. Apakah ini kerugian buat si pelukis? Kalau ia hidup dari lukisannya, berarti ia tidak dirugikan. Lain ceritanya kalau ia bekerja sebagai accounting di sebuah perusahaan information technology, jelas ia dirugikan. Kalkulasi cash flow perusahaan bisa jadi berantakan karena keterbatasan memorinya. Rugi atau tidaknya tergantung dari sisi mana marijuana tersebut dihakimi.

Mulai dari satpam perumahan yang bisa disogok dengan selinting ganja untuk membukakan portal pada jam 5 pagi, seorang disc jockey yang mengakui bahwa setelah selesai perform di club terbiasa ‘nyimeng’, sampai artis muda ibukota yang mengatakan bahwa ia seringkali merasa tidak percaya diri untuk di-shoot sebelum mengkonsumsi marijuana; hampir semua orang dari segala strata sosial tidak terlepas dari pengaruh marijuana. Seorang graphic designer di Singapura mengatakan bahwa top drug of choice-nya adalah marijuana, selain ecstasy dan crystal. Padahal ia menyadari fakta bahwa di negara tempat ia menetap diberlakukan death penalty untuk marijuana user atau seller.

Ditinjau dari kacamata agama, marijuana itu dosa. Namun orang-orang beragama ternyata banyak juga yang tidak lepas dari ganja. Bagi orang-orang seni, kreativitas mereka datang dari marijuana. Dan negara kita butuh kreativitas rakyatnya untuk meningkatkan devisa negara, seperti Jepang yang penghasilannya dari komik manga empat kali lipat dari hasil export bajanya. Siapa tahu Aceh yang konon adalah produsen ganja terbesar di seluruh Indonesia bisa memberikan kontribusinya untuk meningkatkan devisa.

Jadi, nurtured by nature.. or tortured by nature?

8.11.09

Salah Sendiri

Malam ini bulan hampir bundar. Tapi cahayanya tidak berpendar. Jempol kakiku mengintip dari balik stoking hitam yang tercabik rokok. Mengejek. Menertawakan. Sepuluh menit aku termenung. Dari merasa sedih, tolol, sampai akhirnya tertawa sendiri. Batasan realita jadi rancu. Semua kacau. Tadi malam mimpiku bernuansa hitam dan biru. Dipenuhi kostum yang meneriakkan kekuatan kaum feminis dan hak tiga belas senti yang mendominasi. Tapi mimpi itu layaknya embun. Menguap setelah dicium matahari. Sekarang digantikan sampah dan kaleng kosong. Rasanya, hai teman, sama seperti cinta monyet semasa SMP. Tiket nonton disimpan rapi. Kuperhatikan cara ia berbicara dan tertawa. Sampai hafal dengan kebiasaannya berkata-kata. Berhari-hari ia menetap di mimpiku. Namun statusnya tetap nomaden. Dari semua laki-laki di luar sana, mengapa dia? Dia, yang sekarang tidak mungkin dirasa, diraba, atau dicium. Dia, yang logika berpikirnya sukses mematahkan logika dan moralku. Sampai-sampai aku harus membujuk otak untuk berteman dengan hati. Kalau mereka rujuk, aku tidak jadi mati. Menginginkan sesuatu yang tidak mungkin itu sama dengan menentang salah satu dari sepuluh perintah Allah. Atau memang inilah yang namanya hidup? Jari kelingkingnya lebih besar dari jari tengahku. Tapi jempolku sama panjang dengan kelingkingnya. Ia mungkin tidak ingat. Tapi aku tahu aku bisa menggambar siluet mukanya dengan mata tertutup,
kalau aku mau. (Jakarta, Desember 2009)

6.9.09

27.4.09

Pastel Palette

Perfect day, like Lou Reed said. http://www.youtube.com/watch?v=6LG39Wp7OzQ

17.2.09

Apanya Yang Lucu?

Beberapa menit yang lalu saya menyempatkan diri untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh adik perempuan saya di kamarnya. Dia masih duduk di tingkat terakhir Sekolah Dasar, dan termasuk murid yang pintar di sekolahnya (melihat gelar Juara Umum yang berhasil didapatnya dan juara kelas berkali-kali). Saya menyadari potensi yang dimilikinya, dan selama ini selalu berusaha untuk membimbing dia sedapat mungkin ke arah yang positif. Dilihat dari perkembangannya, hebat juga koleksi film kartunnya hasil download sendiri di Rapidshare. Dari parental control yang saya lakukan, selama ini semuanya masih positif, sampai beberapa menit yang lalu. Adik saya (Liza Rachel) sedang YouTube-ing ketika saya masuk ke kamarnya. Dari tampilan layar yang berwarna-warni, sepertinya kartun tersebut biasa saja, sama seperti kartun lainnya yang diperuntukkan untuk anak kecil. Ternyata ia sedang menonton Happy Tree Friends; kartun yang sudah sering saya dengar namun tidak pernah saya tonton sebelum hari ini. Tapi ketika saya memperhatikan adegan-adegannya, dahi saya langsung berkerut. Langsung saya bertanya. "Buat apa sih nonton ini? Memangnya bagus?" "Habisnya lucu, Kak. Buat iseng-iseng aja." Lucu dari mana? Adegannya tidak jauh-jauh dari bola mata yang ditembus ujung gunting, pecahan kaca yang masuk ke dalam mulut, aquarium dengan air berwarna merah darah, karakter yang dijepit kursi sampai badannya hancur lebur, bahkan ada satu episode dari Mondo Mini Shows tersebut yang menceritakan bagaimana karakter berbentuk rusa berwarna biru yang kakinya terjepit pohon terpaksa menggergaji kakinya dengan sendok dan penjepit kertas sepanjang hari. Saya sendiri bukan tipe orang yang takut melihat darah, tapi ketika (dulu) saya menonton film Saw buatan Australia itu, jujur saja saya sempat mual melihat adegan kaki digergaji yang persis sekali dengan adegan Happy Tree Friends tersebut. Ini memang bukan isu baru. Namun saya tidak dapat tidak memikirkan; apa kira-kira akibat jangka panjangnya bagi adik saya? Bagaimana dengan anak-anak lainnya? Apalagi mereka yang di bawah umur lima tahun (The Golden Age), yang kemampuannya menyerap informasi menentukan pertumbuhan cara berpikir mereka untuk (setidaknya) 30 tahun ke depan? Hasil penelitian melalui metode content analysis oleh Parents Television Council terhadap kartun-kartun serupa di negara-negara maju menunjukkan bahwa dari 443 jam penayangan kartun-kartun tersebut, terdapat 3.488 bentuk kekerasan. Penelitian yang sama juga mengindikasikan bahwa lebih banyak kekerasan dalam program acara televisi untuk anak kecil dibandingkan program untuk orang dewasa. Sampai sekarang belum ada tanggapan yang riil dari pemerintah. Mereka hanya dapat menghimbau para orangtua untuk memperhatikan acara-acara televisi yang ditonton anaknya, dan memberikan penjelasan atau bimbingan tertentu. Keseluruhan permasalahan ini membuat saya teringat dengan salah satu episode di The Simpsons, ketika Marge Simpson berinisiatif menghitung sendiri jumlah adegan kekerasan di kartun Itchy & Scratchy kesayangan Bart dan Lisa, kemudian menuntut perusahaan yang berkaitan untuk mengurangi kadar kekerasannya. Usahanya tidak sia-sia, karena Marge mendapatkan banyak dukungan dari orang-orang yang mempunyai visi yang sama. Dan untuk sementara, saya hanya dapat 'melindungi' adik saya dari kejahatan kartun tersebut. Menyedihkan.

Surreality vs. Hyperreal

I’m aware of the fact that human being is full of mysteries. Nobody could predict what’s in our mind precisely, just like nobody can understand us completely. It’s impossible to reach 100% similar field of experience in life. Only The Creator has the authority to access that other side of our life. Come to think of it, human beings nowadays started to scare the hell out of me. I saw these tendencies, many tendencies becoming more and more habitual every day. They covered up their life, their daily routines, with this pseudo-mask to portray a pseudo-world, causing us to live in a pseudo-reality. And that makes us.. what? Hypothetically speaking.. The Greatest Creation of God? Or mediocre homo sapiens? Look around. Switch your meticulous mode on. Smell the view, see the sweats. It’s everywhere. They’re imminent. You can run, yet you can’t hide. We sweat the small stuffs, and ignore the humongous stuffs that matters. Or is it the small stuff that matters..? Or the big stuff is innocuous..? I can barely tell the difference no more.
Ever feel like you’re one of them? Have you ever went to a party you didn’t even want to attend, but you felt that you have some obligation to do so, just because your hello-then-goodbye friend told you to come over because he/she’s gonna spin the vinyl when you bumped into that person at some random place? And we justify it with the label “social-being.” Have you ever hurt someone’s feeling? Just because you know that you’ve done something wrong to that person, but that pompous heart of yours told you not to apologize? Then you’re being repulsive, denying the fact that it is a paradoxical scene that you’re supposed to solve, and we justify it with the label “position means power” or even worse; "love hurts." Have you ever seen those images or videos of war? That costs more innocent souls than you can imagine, and you know that their government’s only concern is the soil left to burry the corpses, but you just stay put and sit still in your sleazy leather couch, potato couching and stuffing microwave-heated popcorns into your mouth, showing a glimpse of sympathy for a second, then changed the channel, snubbed those feelings away and go on with your life like nothing happened? And we justify it with “Oh, let’s not worry about something we didn’t need to think about. It happened in the other side of the world anyways.” or even worse; “They already have authorized peoples to take care of them. We can do nothing, because we’re nobody. We are not that astute enough to change the world.” Ever read an article that explains about how the symptoms of global warming becoming more blatant and obvious, damaging and dangerous day by day, but you put down the magazine, walked out into your vehicle that produces a massive amount of carbon dioxide along with other vehicles you passed by on the way to your 35 stories high office building with mirrors all over the skyscraper, causing a glass house effect that leads to another damage toward the earth’s ultra violet shields, which we should overhaul instead of ignoring it? And we justify it with “One small change wouldn’t change the whole world.” or worse; “We didn’t build the goddamn buildings, so go mind your own fucking business!”
A concrete state of reality has changed its form into a formal delusion that we’ve created to hide our guilt. The reality itself, is covered up with ‘other reality’, which I may call the ‘hyper real’ world, where the real ‘reality’ doesn’t appear as the real one anymore. The real ‘reality’ has gone far more beyond that. It became ‘surreal.” And may I ask.. How concrete is surreal? Go ask yourself. Which side of reality are you living in right now? Are you hyper real? Or are you plain surreal? And that should lead us to the final curiosity; What is real? And this is the point where I should leave. So you guys can think with your contaminated brains. Civilizations made a troglodyte out of us. Dig out some reality. See if you can still find any.

More Creature Than Human

Amongst all theories, statements, or even opinions from brainiacs all around the world, most of them mentioned The Humanism Theory in their explanation, or in educational context; lectures. Human being is the greatest creation of God, and ‘they’ say that’s because we have emotion, which is derived from our right brain, filled with aesthetic, emotions, sympathy and empathy, and so on. They say that aspect of internal factors is the only factor that differentiate George Bush and those purple toads from Suriname; human vs. animals. The big question is: Is it true? There’s this scientist whom I forgot his name, but he made some sort of an research, an observation about how different types of music could make a difference for lab rats experiments. Classic music makes them healthier, rock music makes them grumpy. Even this kind of observation is nonsense, IMO. How could such an experiment with a variable such as music, can be best described as rock and classic music as the only types of music qualified enough to determine the result of an observation? Stereotypes. Sigh.
In the other side, I once read about an experiment where different types of music could also determine the growth of plants. Now this may sound.. Looney. But almost all scientists are lunatics, right. That’s a statement, not a question. Have you met Einstein face to face? I met him in my dreams once, and his hair looks exactly the same like the one in his worldwide spreads images. Now.. Imagine if you’re a plant. Let’s say you’re Cannabis. Classic and pop music makes you grow faster, and blooms in minutes. (Now that’s a hyperbolic statement) But dance music and house music makes your leaves grow in its least quality, whatever. Scientific research has proved that it’s true and reliable. Very well then, Mr. Smart Ass. And now, as the inferior group of those geniuses, let us do the math. Human being has the ability to process everything their braincells received. That’s why they reacts to music. Trip Hop ballads from Portishead or Sigur Ros might trigger the depressing feeling within your mind. Italo Disco and Krautrock might increases your serotonin hormone and adrenaline rush, makes you want to dance, dance, dance, as if you're under the influence of amphetamines substance.
But then again, why do we feel depressed when we hear Massive Attack’s Teardrop tune on a random radio station? That’s because we have emotion, of course. But how did rats become healthier and marijuana grows faster when they listened to particular types of music? Correct me if I'm wrong, but if the same concept from those theorists is implemented in the last two experiments, that means US (humans), are no different than animals. Or mammals. Or carnivores. Or cannabis. Or white lilacs and red roses. HUMAN reacts to music as a proof that we DO have emotions. Could someone please explain it to me, what about the rats and the marijuana..? Otherwise I’ll draw a conclusion by myself, and that'll make me an atheist. Because if I believe in Darwin’s theory that human beings are originated from the apes, then it’ll be a contradictory against my own beliefs. Oh, fuck it. We’re more creature than human.


why do people with closed minds open their mouth?

About Me

problematic in associating names with faces.